Masa Muda Kami dalam Ingatan

Suatu sore di hari Sabtu, aku dan suami mengobrol di ruang depan sambil memantau anakku yang sedang bermain bersama teman-temannya di depan rumah. Kami membahas banyak hal, mulai dari yang receh mengomentari konten di sosial media, sampai kami membahas tentang masa muda kami. Aku dan suami adalah teman sekelas saat di SMK dulu. Sejak dulu dia jadi teman diskusiku, ngobrol tentang pelajaran, tontonan, kajian, buku, dan topik-topik hangat saat itu. Awalnya berteman biasa seperti lainnya, tapi karena seringnya teman-teman kami menjodoh-jodohkan kami, jadinya timbullah benih-benih ketertarikan di antara kami, ditambah kami sangat nyambung di banyak hal saat mengobrol. Jadilah benih itu tumbuh subur sampai saat ini. Hehehe

"Say, nggak menyangka ya teman-teman kita yang dulunya kelihatan biasa dalam pelajaran sekarang malah terlihat menonjol dari segi keilmuannya.", kataku merujuk pada beberapa teman yang kami bahas saat itu. 
"Iya, salut aku sama mereka dan alhamdulillah mereka masih sama seperti yang dulu.", jawab suamiku. 
"Bener, alhamdulillah. Kayaknya pertemanan paling dekat selama hidupku ya di SMK deh say.", kataku. 
"Hu-um, aku juga merasa begitu. Meskipun jarang bertemu tapi mereka masih mau ngajak dan diajak ketemuan.", timpal suamiku. 
"Iya, dulu aku tuh nggak terlalu dekat loh sama si A, B, dan C tapi sejak jadi ibu dan kita sama-sama dewasa ternyata malah jadi dekat, dulu rasanya susah sekali di dekati, ternyata baik juga orangnya."
"Yaa, mungkin memang ada masanya seperti itu."

Dulu di sekolah, ada beberapa teman yang kami anggap paling menonjol, entah kepintaran, dari segi finansial, atau pergaulan. Kami menyepakati teman-teman kami itu adalah teman dengan latar belakang yang lebih 'berada' dari kita. Aku dan suami berasal dari ekonomi menengah ke bawah, bedanya suamiku berprestasi sedangkan aku tidak. Hehehe. Aku minder sekali jika harus dekat dengan mereka itu, lebih tepatnya aku tidak mau masuk ke circle mereka karena takut tidak bisa menyamai mereka dan aku pun lebih memilih bersama yang kuanggap sefrekuensi dari segi apapun. Mungkin dengan cara membatasi diri itulah sampai sekarang aku merasa tetap percaya diri (atau masa bodoh?) meskipun kondisi ku tak sebaik teman-teman tadi. Aku juga jadi lebih gampang bersyukur dan nggak terlalu ambil pusing dalam beberapa pencapaian.

Aku dan suami mengobrol lama, mengenang masa muda kami yang kalau dikenang sekarang ini ternyata menarik juga. Aku paling suka ketika kami membahas tentang kesamaan-kesamaan kami sebagai orang yang tidak punya alias kurang mampu secara finansial. Dari situ kami bisa bangga dan bersyukur dengan apa yang kami capai hari ini, serta lebih bisa menghargai setiap keadaan.

Comments

Popular Posts