Perkenalkan, Kami Si Sulung

Sulung, menurut KBBI adalah yang terdahulu atau yang mula-mula sekali. Anak Sulung berarti anak yang tertua, bisa dimaknai anak yang dilahirkan pertama kali di dalam keluarga inti; anak yang menjadi anak pertama karena anak sebelumnya meninggal dunia; atau anak yang dituakan. Katanya anak sulung itu memiliki karakter yang wah sekali, seperti ambisius, mandiri, perfeksionis, bisa diandalkan, dan berjiwa pemimpin. Mungkin tidak semua anak sulung seperti itu, tapi mayoritas sepertinya memang demikian adanya. Ya, seperti yang tergambar di keseharian kami bertiga. Bertiga?? Yup, pertama aku si ibu adalah sosok anak perempuan pertama di keluargaku, dua bersaudara dengan jarak sepuluh tahun. Kedua, si ayah adalah sosok anak laki-laki pertama dengan tiga bersaudara, dan ketiga si anak kami berdua, anak laki-laki pertama kami.

Mari kita amati dari karakter tadi, apakah benar ya kami itu ambisius, mandiri, perfeksionis, bisa diandalkan, dan berjiwa pemimpin? Hahaha
Ambisius menurut KBBI (lagi-lagi pakai KBBI, hehe) adalah berkeinginan keras mencapai sesuatu (harapan, cita-cita); penuh ambisi. Jujur kalau aku ditanya secara pribadi dan spontan pasti akan kujawab iya. Sifat dalam diriku yang ambisius itu memenuhi kriteria deskripsi tersebut. Lalu se-ambisius apa diriku? Well, dulu waktu TK aku merengek pada ibukku minta mendaftarkanku ke SD yang sama dengan kakak kelas perempuan favoritku. "Aku mau sekolahnya di MI yang sama seperti mbak Rahma buk.", kataku suatu hari di usia 6 tahun saat masih TK. "Di mana memangnya?", tanya ibukku saat itu yang kemudian beliau pun ikut mencari tahu dan akhirnya mendaftarakanku ke sekolah tersebut. Anak-anak tetanggaku memilih SD di dekat rumah, tapi karena aku mau masuk MI yang sama dengan mbak Rahma tadi, jadinya ibukku harus mengantar jemputku sejauh 2 KM dengan mengayuh sepeda ontel.
Apa lagi? Selama di MI aku juga tidak sia-sia sekedar ikut-ikutan kakak kelas, aku pun dapat juara 1 di kelas 1 triwulan 1, lalu juara 2, dan juara 3 selama di sekolah. Lulus pun kemudian aku mendapat SMP Negeri sesuai keinginanku. Tidak lagi mengikuti kakak kelas yang dulu. Masuk SMK pun aku nekat masuk yang favorit, lainnya masuk SMK di kota yang lebih dekat, aku malah memilih di kabupaten yang jaraknya lebih jauh, jurusan favorit pula. Saat lulus SMK, aku tidak mau bekerja sebagai kasir atau pelayan restoran, aku mau bekerja kantoran yang lebih keren, kataku saat itu. Supaya kerja kantoran maka aku harus kuliah, karena kuliah butuh biaya, aku harus cari beasiswa. Kucari tahu jurusan yang relevan dengan SMK ku dan alhamdulillah rejeki dari Allah aku pun bisa kuliah di universitas favorit di kotaku. Apakah seperti itu ambisius?

Katanya, anak sulung itu mandiri, yup aku merasa begitu, suamiku pun juga demikian. Dengan ambisi mengentaskan dari kemiskinan, aku mencari tahu banyak beasiswa, lowongan pekerjaan secara mandiri kulakukan melamar ke sana kemari, cuma modal doa orang tua dan nekat. Alhamdulillah, Allah ridho dan mental apa-apa bisa sendiri itu jadi modal kami merantau saat ini.

Perfeksionis, rasanya kalau bisa melakukan sendiri akan lebih puas karena jiwa perfeksionis dalam diri kadang malah bikin stress sendiri. Mungkin aku akan bilang bahwa kami si sulung adalah perencana terbaik. Memastikan rencana A berjalan baik sebelum rencana B di eksekusi.

Bisa diandalkan? Jangan ragukan kami si sulung yang kalau udah diamanahi tanggung jawab insyallah 99% beres. Mrantasi kalau orang jawa bilang.

Berjiwa pemimpin ini tentu saja mengingat kami anak tertua pasti dijadikan contoh bagi adik-adik kami, dan jadi bahan percobaan orang tua kami. Hahaha

Nah, mungkin karakter tersebut memang melekat erat di diri kami tanpa disadari. Namun, perlu ditekankan bahwa setiap orang berbeda-beda meskipun sama-sama anak sulung. Banyak faktor yang menjadikan berbeda seperti latar belakang orang tua, status sosial masyarakat, ekonomi finansial, kesehatan, dan sebagainya.

Comments

Popular Posts