Kalau Nggak Pedas Nggak Mantap Katanya

Dulu ketika aku belum punya anak, aku suka sekali makan makanan pedas. Meskipun kadar pedasnya tidak yang level tinggi. Tapi cukup bikin menangis atau bibir merah aja rasanya sudah puas sekali. Favoritku pedas dari sambal goreng yang biasa ibukku buat. Pedasnya benar-benar dari cabai rawit dan cabai keriting, namun ada manis dari gula jawa yang membuat nagih. Kami keluarga asli Jogja, yang masakannya hampir pasti cenderung manis. Tapi setelah punya anak, sepertinya level pedas yang nikmat cukup menurun. Seperti saat beli mie pedas berlevel itu, aku pernah coba level tiga dan dua dan semuanya nggak bisa kunikmati dan efeknya jadi perut mules. Barulah ku pilih yang level satu, bisa kunikmati enaknya mie berlevel itu dan perut pun aman. Lalu beli nasi sambel tempong ala Jawa Timur, bagiku itu pedas sekali, efeknya juga ada rasa panas di perut. Bikin sambel sendiri pun juga begitu loh, cuma berani di cocol sedikit meskipun aroma cabai rawit itu sebenarnya gurih sekali. 

Aku menemui berbagai jenis masakan pedas di Denpasar ini. Rata-rata pedas ala Jawa Timur yang ternyata nggak terlalu masuk di lidahku karena cenderung pedas gurih. Sedangkan aku lebih suka pedas manis. Jadi ya kadang kurang cocok dengan makanan tersebut.

Nah, sejak menikah dan merantau ini, aku sering membuat masakan sendiri kan? Awalnya masakanku itu dominan pedas manis, tapi ternyata suami tidak terlalu suka karena suami malah sudah terbiasa dengan masakan Jawa Timur. Hahaha akhirnya masakan yang kubuat jadi nggak karuan rasanya, nggak bisa konsisten komposisi rasanya. Belum lagi selera masakan anakku yang belum kuat pedas. Pedas merica dikit saja dia terasa, ada potongan cabai keriting di masakan aja dia ribut minta diambilin potongan cabainya.

Ada cerita berbeda untuk adik kandungku yang ternyata malah nggak suka pedas. Lalu dua adik iparku yang kalau makan pedasnya kelewatan. Dari sini kami hanya bisa saling menghargai level rasa pedas masing-masing tanpa harus memaksakan pada level pedas tertentu.